Beberapa spanduk bertuliskan penolakan wayang kulit terpampang di
sejumlah tempat. Belum jelas benar dimana spanduk-spanduk itu
dibentangkan. Sebagian mengatakan di
daerah Kaliurang Jawa Tengah. Namun sebagian informasi menyebut
pembentangan itu terjadi di daerah Cempaka Putih, Jakarta Pusat yang
dilakukan oleh sebuah perkumpulan yang menamakan diri Aliansi Masyarakat
Muslim Se-Jakpus. Diduga keberadaan spanduk tersebut berkaitan dengan
Pilkada Jakarta.
Melihat
bunyi spanduk-spanduk itu tentu serta merta kita mengernyitkan kening,
betapa narasi politik aliran yang mereka kembangkan telah begitu luar
biasa melabrak akal sehat. Menyebut dan secara serampangan, tendensius
dan pendek akal mereka menghalangi pertunjukan wayang kulit yang
diselenggarakan kelompok atau kubu yang tidak disukainya dengan
menyebutnya sebagai sesat dan mengkonfrontirnya vis a vis syariat Islam.
Betapa makin ringan mereka memperlakukan agama sebagai pelontar bagi
peluru-peluru politik jangka pendek. Jika narasi-narasi seperti ini
dibiarkan, maka sama halnya bangsa ini sedang memberi angin bagi
orang-orang pendek akal tersebut untuk secara terus menerus memamerkan
ketidaktahuan -- untuk tidak menyebutnya ketololan -- mereka dengan
penuh percaya diri dan mempengaruhi orang lain untuk mengikuti cara
berfikir dan bersikap seperti mereka. Sertamerta dan secara simplistik
membuat dalih wayang tidak diajarkan dalam Islam adalah logika perfikir
sekenanya dan ngawur, menunjukkan fakta dangkalnya pemahaman sejarah
mereka atas Islam dan latar kebudayaan yang melingkupinya. Secara kasat
mata kelucuan itu misalnya tampak pada bunyi salah satu tulisan spanduk
tersebut, "Menolak dengan keras pemutaran wayang kulit". Nah, bukannya
wayang kulit itu dibabar atau digelar, bukan diputar? Emang layar tancap
diputar?
Berikut adalah paparan pendek terkait sejarah wayang di Nusantara hingga fase deformasi oleh Walisongo menyusul digunakannya wayang sebagai media dakwah Islam:
Wayang adalah warisan seni asli Nusantara. Sejak jaman pra Hindu wayang sudah dikenal dalam dua bentuk. Pertama, sebagai media dalam upacara suci memanggil arwah leluhur yg digelar pada hari-hari tertentu, terutama dalam penobatan ratu.
Dalang kumara (dalam keadaan kerasukan ruh) menuturkan kisah ratu-ratu Medang Kamulan (kerajaan awal di alam arwah, Sanghyang Dharma Kamulan i...) yg menjadi leluhur ratu yg dinobatkan. Karena ruh tidak bisa dilihat, maka digambarkan dalam wujud bayangan (hawayang, wewayangan).
Sekalipun Hindu sudah masuk, wayang tidak lantas hilang dan tetap pada fungsinya sebagai sarana upacara yg bersifat sakral. Seseorang yg sakit tidak lekas sembuh akan menggelar wayang untuk minta bantuan arwah leluhur. Karena itu sang Dalang, selain memainkan wayang dalam keadaan trance, juga menjadi penghubung manusia dengan dunia arwah.
Kedua, wayang sebagai tontonan berisi lakon-lakon humor. Tidak ada cerita pakem tertentu karena sifatnya yang hanya menghibur lewat beberapa figur tokoh Mabanyol dan Mamirus seperti Bancak, Doyok, Sangut, Santa, Prasanta. (Sampai sekarang di Jawa sebutan bagi orang yang sedang bertingkah lucu/melawak biasa disebut "Mbanyol")
Di era Kediri dan Majapahit berkembang Karebet, pertunjukan wayang dari kertas yg dibeber dengan cerita panji yang memasukkan tokoh-tokoh Mabanyol dan Mamirus sebagai pelawak. Ini wayang untuk ditonton secara umum. Tapi wayang yang digelar di Kamulan tetap diteruskan sebagai sarana ritual keagamaan bersifat tertutup.
Selanjutnya di era Wali Songo terjadi deformasi bentuk wayang. Figur tokoh yang digambar mirip manusia diubah menjadi gambar dekoratif yg tidak menyerupai manusia seperti bentuk hidung, mata, mulut, kepala, tangan, hiasan, dll. Deformasi bentuk ini dilakukan untuk menyiasati larangan lslam menggambar makhluk hidup.
Pakem cerita Ramayana dan Mabharata yang "diIslamkan" dijadikan kisah baku wayang pada era ini. Gamelan pun ditambah lebih lengkap. Meski sudah lslam, pertunjukan wayang tidak lepas dari anasir-anasir kuno seperti sesaji, kekutuk membakar dupa, membaca doa khusus untuk arwah sekitar yang hadir. Jadi wayang memang sudah dikenal di Nusantara sejak jaman Kapitayan kuno. Tapi wayang dalam bentuk Wayang Purwa sebagaimana kita kenal adalah sepenuhnya hasil kreasi Wali Songo.
Pada zaman Majapahit hanya dikenal alat-alat musik seperti gong, saron, kendang dan seruling. Sedangkan alat gamelan lain seperti kenong, gambang, gender dan lain-lain tidak dikenal dan baru di-create di zaman Walisongo. Demikian pula dengan wayang. Semua sarjana Belanda mengakui bahwa wayang adalah warisan yang ditinggalkan oleh para penyebar Islam di Nusantara, dan tidak dikenal sebelumnya di era Majapahit.
Berikut adalah paparan pendek terkait sejarah wayang di Nusantara hingga fase deformasi oleh Walisongo menyusul digunakannya wayang sebagai media dakwah Islam:
Wayang adalah warisan seni asli Nusantara. Sejak jaman pra Hindu wayang sudah dikenal dalam dua bentuk. Pertama, sebagai media dalam upacara suci memanggil arwah leluhur yg digelar pada hari-hari tertentu, terutama dalam penobatan ratu.
Dalang kumara (dalam keadaan kerasukan ruh) menuturkan kisah ratu-ratu Medang Kamulan (kerajaan awal di alam arwah, Sanghyang Dharma Kamulan i...) yg menjadi leluhur ratu yg dinobatkan. Karena ruh tidak bisa dilihat, maka digambarkan dalam wujud bayangan (hawayang, wewayangan).
Sekalipun Hindu sudah masuk, wayang tidak lantas hilang dan tetap pada fungsinya sebagai sarana upacara yg bersifat sakral. Seseorang yg sakit tidak lekas sembuh akan menggelar wayang untuk minta bantuan arwah leluhur. Karena itu sang Dalang, selain memainkan wayang dalam keadaan trance, juga menjadi penghubung manusia dengan dunia arwah.
Kedua, wayang sebagai tontonan berisi lakon-lakon humor. Tidak ada cerita pakem tertentu karena sifatnya yang hanya menghibur lewat beberapa figur tokoh Mabanyol dan Mamirus seperti Bancak, Doyok, Sangut, Santa, Prasanta. (Sampai sekarang di Jawa sebutan bagi orang yang sedang bertingkah lucu/melawak biasa disebut "Mbanyol")
Di era Kediri dan Majapahit berkembang Karebet, pertunjukan wayang dari kertas yg dibeber dengan cerita panji yang memasukkan tokoh-tokoh Mabanyol dan Mamirus sebagai pelawak. Ini wayang untuk ditonton secara umum. Tapi wayang yang digelar di Kamulan tetap diteruskan sebagai sarana ritual keagamaan bersifat tertutup.
Selanjutnya di era Wali Songo terjadi deformasi bentuk wayang. Figur tokoh yang digambar mirip manusia diubah menjadi gambar dekoratif yg tidak menyerupai manusia seperti bentuk hidung, mata, mulut, kepala, tangan, hiasan, dll. Deformasi bentuk ini dilakukan untuk menyiasati larangan lslam menggambar makhluk hidup.
Pakem cerita Ramayana dan Mabharata yang "diIslamkan" dijadikan kisah baku wayang pada era ini. Gamelan pun ditambah lebih lengkap. Meski sudah lslam, pertunjukan wayang tidak lepas dari anasir-anasir kuno seperti sesaji, kekutuk membakar dupa, membaca doa khusus untuk arwah sekitar yang hadir. Jadi wayang memang sudah dikenal di Nusantara sejak jaman Kapitayan kuno. Tapi wayang dalam bentuk Wayang Purwa sebagaimana kita kenal adalah sepenuhnya hasil kreasi Wali Songo.
Pada zaman Majapahit hanya dikenal alat-alat musik seperti gong, saron, kendang dan seruling. Sedangkan alat gamelan lain seperti kenong, gambang, gender dan lain-lain tidak dikenal dan baru di-create di zaman Walisongo. Demikian pula dengan wayang. Semua sarjana Belanda mengakui bahwa wayang adalah warisan yang ditinggalkan oleh para penyebar Islam di Nusantara, dan tidak dikenal sebelumnya di era Majapahit.
No comments:
Post a Comment